Cerai Dan Sejarahnya, Hubungannya Dalam Undang-Undang Perkawinan

Sebelum Islam lahir perceraian sudah ada. Bahkan perceraian pada waktu itu menjadi tren di kalangan masyarakat jahiliah. Tradisi yang terjadi di antara mereka suka menceraikan istrinya setelah semalam istrinya dipakai (konotasi).
Rujuk kembali ketika istrinya masa idahnya mau habis (menanti), dan begitu seterusnya. Islam datang merubah segala tatanan kehidupan kafir quraish, termasuk perceraian di dalamnya.
Percraian di atur oleh islam, yang intinya tidak ada yang saling dirugikan baik pihak suami atau istri. Dalam islam perceraian dikatagorikan barang halal tetapi dibenci Tuhan. Intinya betapa tidak baiklah cerai dikakukan oleh sepasang suami istri.
Cerai juga difahami jalan terakhir dalam mengatasi berbagai persoalan rumah tangga. Pada masa Nabi Muhammad saw sampai Abu Bakar Shidik perceraian dititik beratkan pada waktu. Artinya seorang suami mengatakan cerai 1,2,3, pada waktu yang bersamaan tetap menjadi satu.
Namun pada masa Umar bin Khathab perceraian dititik beratkan pada perkataan. Seorang suami yang mengatakan cerai satu, menjadi satu, dua menjadi dua, dan tiga menjadi tiga sekalipun mengatakan pada waktu yang bersamaan. Pendapat Umar bin Khathab diikuti oleh Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad.
Namun belakangan ulama kontenporer (kekinian) dan dalam undang-undang perkawinan dikembalikan lagi perceraian pada masa Rasul, yaitu dititik beratkan pada waktu. Dengan demikian ulama-ulama yang menggunakan kitab-kitab klasik (kitab kuning) akan berpegang teguh pada pendapat Imam yang tersebut di atas. Sementara pengadilan akan menetapkan pada waktu seperti dizaman Rasul.
Pada awalnya dalam perceraian tidak ada saksi, namun belakang pengadilan dan ulama kontenporer menetapkan dalam percerai ada saksi atas berbagai pertimbangan. Di sis lain harus tertulis, untuk mempermudah administrasi di pngadilan. Jumlah cerai yang dimiliki kaum hawa adalah tiga. 1, 2 talak rajiyah, dan 3 talak bain. Talak rajiyah artinya talak di mana seorang suami bisa kembali pada istrinya pada masa idah tampa akad nikah baru.
Seorang suami hanya cukup mengatakan kembali kepada istrinya. Adapun talak bain, talak tiga, di mana seorang suami yang menceraikan istrinya, tidak bisa kembali kecuali istrinya habis masa idahnya, menikah dengan laki-laki lain, kemudia cerai, dan habis masa idahnya.
Setalah itu baru suami bisa kembali kepada mantan istrinya yang telah diceraikan oleh suaminya yang kedua dan habis masa idahnya. Bagi cerai rajiyah, seorang suami wajib memberi nafkah kepada istrinya selama masa idah.
Sementara bagi talak bain, seorang suami hanya wajib memberi tempat tinggal kepada mantan istrinya. Hal ini semua dikatan wajib jika prcerainnya tidak disebabkan nusuz oleh istri. Namun jika perceraian karena nusuz, artinya kedurhakaan kepada suami maka kewajiban-kewajiban tersebut gugur.
Kata cerai terbagi pada dua bentuk sharih (denotasi), kinayah (konotasi). Bentuk kata sharih yaitu, seorang suami mengatakan cerai langsung kepada istrinya. Sementara kata kinah, seorang suami mengatakan dengan kata lain. misalnya pulanglah kamu ke rumah orang tuamu. Kata ini jika diniatkan cerai jadi cerai, tetapi jika tidak maka tidak terjadi cerai.